Pages

Surau Terapung dan Puisi Lainnya

Surau Terapung


Anak manusia duduk pada pelataran sebuah surau,

Setengah kakinya terendam air berwarna coklat,

Sesekali disambangi hempasan kecil

dari gelombang motor tempel yang melaju dengan cepat,

Sebagian Pengendalinya diburu temu,

Sebagian lagi dihantui urusan rancu.


Anak manusia masih tetap khidmat,

Dengan lamunan semu yang diramu,

Apakah hidup hanya berlangsung antara buritan dan kemudi?

Pembatasnya hanya tambah menyatukan kenang.


Ditampakkannya tatapan kosong yang penuh,

Serta pikiran kecil yang riuh dan bergemuruh.

Sudah semestinya manusia tenggelam

pada apa–apa yang jadi ragu, katamu,

Suara merdu terdengar sendu,

Anak manusia itu meneruskan senggamanya dengan waktu.


Sriwijaya, 2022 


***

Catatan Perjalanan


Aku jadi senang bepergian,

Berjalan, berlari, mengejar–dan menumpang.

Meski tak benar paham,

Mana tiba, mana rimba.

Apakah di antara kita ada yang perlu berteduh?


Kau sibuk mencari jalan pintas,

Aku sibuk mencari celah puas,

Dijalan yang tak asing kusapa,

Ingatan tentangmu–kusapu.


Angkringan yang biasa kita singgahi menyepi,

Dan jalanan sore ini jadi terasa lenggang,

Dadaku makin sesak oleh pertanyaan,

Dan kau malah sibuk meminta pengertian.


Kau masih menunggu aku menepi,

Sebab rasamu, ternyata butuh tumpangan.


Yogyakarta, 2021


***

Simpang Jalan Seyegan


Akhirnya kita tiba pada persimpangan jalan,

Aku memilih keyakinanku,

dan kau memilih pergi meninggalkanku,

Aku banyak bertemu kepingan semu, 

Bertemu klip kenang yang membisu.


Pada marka jalan,

Pada jalan berlubang,

Pada simpang jalanan.

Terkantuk-kantuk; terkentut-kentut, terkarut-marut,

tercerai-berai.


Hidup sejatinya memang sebuah kesinambungan dari sebab-akibat,

Alurnya berkelindan antara satu dengan banyak hal.


Yogyakarta, 2022


***

Situasi; Situasu


Kemarin, seseorang menyampaikan kesepiannya,

Belum sempat menanggapi ia pamit pergi,

Belum sempat menaungi ia sudah mati.


Banyak manusia kesepian yang kemudian memilih mati,

Sebab disiksa sepi,

Ramai,

Tapi sepi,

Sepi,

Kemudian mati dicekik isi pikiran sendiri.


Yogyakarta, 2023


***

Upaya Mengejar


Kita berlebih-lebihan,

Dan tetap merasa kurang.

Kita terus mendapatkan,

Dan selalu merasa kehilangan.


Kita cepat-cepat,

Dan tetap saja terlambat,

Kita melangkah pergi,

Dan tidak pernah menemukan rumah untuk kembali.


Yogyakarta, 2022


***

Libur Panjang; Bagian 1


Anak-anak sumringah menatap lembar ujian hari Jum’at,

Bukan karena mengerti pada ajaran yang sejatinya tidak dapat dikritisi,

Melainkan kepada liburan panjang yang menanti,

Satu dua berencana pergi menyambangi.


Yang lain masih bingung hendak ke mana menepi,

Aku? sudah pasti menghabiskannya sendiri.


Libur Panjang; Bagian 2


Cara terbaik menikmati libur panjang tanpa kehadiranmu,

Adalah dengan leyeh-leyeh di mana saja,

Di atas cucian kering yang seharusnya sudah rapi terlipat di lemari,

Di atas lantai kamar sewa yang berkeramik warna putih,

Di kursi teras panjang; yang biasa kita duduki,

Dan di atas perasaan penuh lagi riuh disesapi sepi.


Yogyakarta, 2023

***


Ditulis oleh Dian Murni Kurniasih [puisi pribumi],

lahir di Palembang, pada Januari 2003, mulai jatuh cinta dengan dunia kepenulisan sedari sekolah menengah pertama. Saat ini tinggal di Yogyakarta, tengah menempuh pendidikan studi strata satu jurusan Sosiologi di Universitas Widya Mataram Yogyakarta.