Pages

Dari Bagong untuk Bagong

Jadikan setiap orang sebagai guru dan jadikan setiap tempat sebagai sekolah, kutipan gagasan Ki Hajar Dewantara mengiringi perjalanan Bagong menuju pantai selatan Jogja. Tepatnya di sudut Pantai Parangkusumo, Bantul, Yogyakarta ia ingin menapak pada secuil permukaan bumi yang cukup cocok mendapat sebutan 'simulasi surga'. Orang menyebutnya Garduaction, Garbage Care and Education. Di sanalah ruang bermain dan belajar anak-anak usia dini penduduk Pesisir Parangkusumo.

Kegembiraan terukir melalui senyum dan gelak tawa mereka yang mewarnai kegiatan setiap Minggu sore. Mendapat kesempatan membersamai kegiatan mereka serupa rezeki yang luar biasa bagi Bagong. Bermodal penggalan dari ide besar Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, di tempat yang baru kali pertama ia kunjungi, Bagong berani mencari makna bagaimana setiap orang sebagai guru, dan setiap tempat sebagai sekolah.

Tak terpikir sedikitpun oleh Bagong bahwa kedatangannya di Garduaction akan menggurui anak-anak pesisir, sebab ia telah mengetahui bahwa dirinyalah yang akan belajar. Titik kemampuan Bagong berada pada berbagi pengalaman yang mungkin saja belum dialami oleh anak-anak pesisir. Pun sebaliknya, Bagong telah bersiap mengalami hal-hal baru dari manusia yang usianya lima belas tahun lebih muda.

Hidup di Yogyakarta sebagai anak rantau yang lumayan bingung mengisi hari, Bagong mengajukan diri sebagai salah satu sukarelawan Komunitas Buku Berbagi dalam kegiatan Sunday Sharing and Caring. Tentu sesi perdana diwarnai dengan rasa kikuk dan bingung mengenai apa yang seharusnya ia kerjakan. Namun begitu, berbekal 'pengosongan gelas', Bagong berhasil membersamai kegiatan anak-anak pesisir. Ia menyesuaikan diri dengan kegiatan yang dilakukan oleh anak-anak dan teman sukarelawan lainnya.

Sorak-sorai anak-anak Pesisir Parangkusumo membawa Bagong pada rasa syukur atas dirinya yang ditakdirkan untuk bisa membersamai para adik asuh Buku Berbagi. Pada hari yang sama, banyak sukarelawan baru bergabung. Kebanyakan berstatus mahasiswa aktif yang memiliki cukup waktu luang saat hari Minggu. Kebesaran jiwa mereka tercermin dari kerelaan mendedikasikan waktu dan energinya tanpa mempertimbangkan bentuk apresiasi.

Beberapa waktu berlalu dalam pengamatan kegiatan serta pencarian jawaban apa yang harus dilakukannya ketika membersamai anak-anak, Bagong bertemu anak kecil yang kebetulan juga dipanggil Bagong. Kita panggil saja 'Bagong Junior', seorang anak yang usianya sekitar lima tahun. Perawakan nampak kecil namun cukup gempal dengan warna kulit cenderung gelap. Penampilan Bagong Junior begitu sederhana, hingga mampu memberi refleksi mengenai kesederhanaan hidup bagi Bagong.

Sekalipun kemampuan bicara Bagong Junior masih belum terlalu lancar, ia menyimpan banyak tindakan yang di luar dugaan Bagong. Tingkah laku Bagong Junior cukup ikonik hingga membuatnya terlihat mencolok. Bagong Junior bahkan menikmati momentum ketika ditertawakan orang-orang di sekitarnya. Mungkin, baginya hal semacam itu ia maknai sebagai cara membagi suka ria pada sekitar, dengan tetap menjadi diri sendiri.

Momen paling lucu ketika Bagong Junior sedang terlihat berjalan kaki biasa namun secara tiba-tiba melakukan atraksi salto. Spontan beberapa anak mengerubungi Bagong Junior dan menyuruhnya untuk mengulangi atraksi yang dilakukan. Beberapa kakak sukarelawan cukup khawatir mengingat tidak adanya properti untuk mendukung keamanan ber-salto, sehingga meminta Bagong Junior untuk menghentikan atraksi yang sedang ditampilkan di hadapan kawan-kawannya.

Selanjutnya, sesi kegiatan diisi permainan 'Kata Tono'. Dimulai dengan berdiri melingkar sembari bergandengan tangan antara anak-anak dan sukarelawan. Terpilih salah satu kakak relawan berdiri di tengah lingkaran untuk menjalankan peran sebagai komando permainan. Para peserta mengikuti perintah komando apabila pada awal perintah terucap 'Kata Tono'. Misal ‘Kata Tono, pegang mata’, maka para peserta harus memegang mata masing-masing. Sedangkan ketika ada kalimat perintah yang tidak diawali dengan ‘Kata Tono’, peserta yang melakukan perintah yang disebutkan tersebut dinyatakan gugur dalam permainan.

Keceriaan Sunday Sharing and Caring tidak berhenti di situ, anak-anak juga antusias mengikuti kuis yang diberikan oleh kakak sukarelawan. Para peserta kuis berbaris rapi menunggu giliran menjawab pertanyaan. Mereka berebut kesempatan dengan penuh percaya diri. Ternyata anak pesisir berani menyampaikan pendapat tanpa khawatir pada penilaian orang lain.

Dari Bagong Junior dan kawan-kawannya, Bagong merekam potret kebahagiaan yang terbungkus dalam kesederhanaan. Suatu ilmu yang tak diajarkan di sekolahan dan bangku kuliah. Semakin dewasa, manusia semakin ribet untuk mendapatkan kebahagiaan. Kadang kala kita memerlukan barang yang mewah serta mahal harganya. Sering pula menghamburkan uang untuk membeli minuman keras demi sejenak melupakan masalah kehidupan.

Betapa tertinggalnya pikiran dan sikap kita sebagai manusia yang mengaku dewasa. Sementara itu, boleh dibilang anak-anak pesisir lebih cerdas dari kita yang mengaku sebagai orang terpelajar. Kebahagiaan mereka cukup dengan menikmati jajanan yang diperoleh dari kuis. Alih-alih merasa menang daripada kawannya, para pemilik hadiah dengan senang hati membagi pada kawannya yang tak mampu mendapatkan. Betapa hebatnya hal itu jika kita mau menyadari dan memahami cara bersikap anak-anak usia dini.

***

Ditulis oleh Virgiawan Perdana Sakti

Anak desa yang masih belajar menjadi manusia.