Luka Bibir Parangkusumo
Minggu,
Siang menjelang tersipu
Laut pucat
Ombak menyeret ikan yang sudah terbujur pucat
Penjual siomay melabuhkan plastiknya liwat pengunjung
begitupun kiprah penjual lainnya
Styrofoam,kaleng,pecahan beling sampai karet bekas alat kontrasepsi menepi tak mau kalah dengan keanekaragaman hayati!
Eh lha..masih ada lagi,
sampah dapuranmu yang kau kirim via sungai-sungai tumpah ruah membangun Istana sampah!
Ohh.. andai bibir pesisir ini bibirku,
pasti sudah pecah bongkah dan berdarah-darah
di Negeri ku, untuk sekedar mesra dengan semesta memang bingung caranya
Kepedulian kerap berbenturan dengan kahanan
Solusi di gadang tak kunjung datang
Pada akhirnya
Kesadaran hanya berserakan di ruang-ruang perasaan.
Parangkusumo, 4 Oktober 2020
Ngundoh Layangan
Kendalikanlah sesukamu, Nduk
tak apa jika ia nanti sesekali njepluk!
sifat angin memang tak tentu
kadang sepoi kadang mengganas.
seperti kisah hidupmu yang cadas kan?
tak usah berpayah-payah mencemaskannya
langit kemarau begitu luas menyertaimu.
sebelum warna sore memudar,
meninggilah menghebat daripada sebelumnya.
Parangkusumo, 16 Juli 2023
di Selatan
Cuk,
Matahari mulai lingsir ke punggung laut
dan gundukan kayu siap disihir menjadi nyala
Orang-orang merayakan petang dengan berselancar diatas anggur,
bukankah itu ritual yang sudah cukup menghangatkan?
jika itu kurang menghangatkanmu
kemari mendekatlah dan aku akan berkisah,
bukan tentang Argasoka dengan ke-elokan bunga-bunganya,
bukan tentang Otea dengan eksotisme para penarinya,
bukan juga tentang Aogashima dengan lava membara
dan keunikan bentuknya yang menyerupai mangkok puding terbalik.
Ini tentang sebuah Tanah yang sangat menggemaskan bernama Atharwa
di mana di dalamnya banyak bocah-bocah menggelandang
yang terpisah dari ibu-bapak kandungnya,
entah dibuang atau ditinggalkan.
Mereka terbiasa lapar, terancam dan terlecehkan.
Susah sekali bagi mereka untuk sekedar mendapatkan aman dan nyaman.
Apa kau pikir mereka terlantar, Cuk?
tidak, mereka tidak terlantar.
sebab satu-satunya yang akan selalu memihak
dan membuat mereka semua tidak merasa terlantar adalah Ibu Bumi.
Mereka hanya bisa bersandar
dan mengadukan kegaduhan isi kepalanya ke bahu Ibu Bumi.
Kini angin mengarahkan pendar api ke arah mu, Cuk.
Tampak ranum wajahmu lengkap dengan matamu yang mulai mengembun.
hmm.. manis sekali.
Embun di matamu yang mulai membandang itu
kini mengembun juga ke mataku.
Bagaimana? apakah cerita ku sudah bisa menggetarkan
dan memacu suhu tubuhmu menjadi lebih hangat?
ya karena ini bukan sekedar kisah dongeng belaka.
Bocah-bocah itu nyata di depan kita,
mereka masih bisa terbahak berlari-lari
sembari mencari kesenangannya sendiri.
bahkan mereka kian tak terkendali bisa mengubah badai ironi menjadi komedi.
Parangkusumo, 20 Agustus 2023