Setiap daerah di Indonesia memang memiliki kepercayaannya masing-masing, apalagi dengan kepercayaan mistis yang sangat melekat pada masyarakatnya. Aku lahir dan besar di Pulau Kalimantan, tepatnya Kalimantan Timur yang kebanyakan kepercayaan mistisnya berasal dari suku Dayak Paser. Salah satu kepercayaan mistis tersebut adalah kepuhunan, yang merupakan kepercayaan tentang datangnya malapetaka jika seseorang tidak dapat memenuhi keinginannya.
Seringnya, kepuhunan dikaitkan saat seseorang bertamu dengan disuguhkan makanan. Apabila menolak jamuan, maka dia akan celaka karena dianggap menolak rezeki yang disuguhkan pemilik rumah. Juga saat seseorang sangat menginginkan untuk makan atau minum sesuatu, maka ia harus segera memenuhi keinginan itu, atau kalau tidak kejadian buruk akan menimpanya.
Sebenarnya aku bukanlah orang yang terlalu percaya pada hal-hal semacam itu, terkecuali mitos yang satu ini. Aku memaksakan diri untuk mempercayai demi mencegah diri dari peristiwa buruk yang akan terjadi. Entah benar atau tidak, aku merasa pernah mengalaminya. Saat itu aku masih duduk di bangku SMP. Selepas aktivitas sekolahanan yang cukup padat, aku ingin untuk minum Es Nona, atau kalau di Jogja disebut Es Doger.
Berhari-hari aku menunggu penjual es keliling melewati rumahku. Bapak yang belum terlalu tua itu biasanya berjualan menggunakan gerobak dorong dengan dilengkapi suara kentongan yang khas. Sayangnya, yang kunanti-nanti tidak kunjung datang. Ya, sudahlah, pikirku putus asa.
Pada siang hari berikutnya, bersama adik perempuanku, kami menggunakan sepeda motor mengelilingi komplek perumahan. Saat itu aku yang bertugas mengendarai. Aku menjalankan sepeda motor dalam kecepatan yang cukup rendah. Kami berkendara sembari asik bersenda gurau. Hingga, aku hampir terlambat menyadari keberadaan lubang besar di hadapan kami. Panik! Aku membelokkan sepeda motor ke arah kiri.
Kami memang terhindar dari lubang besar, tapi nahas, kami kena jatah nasib tagaling ke dalam kubangan yang sudah ditumbuhi tanaman liar. Kami berdua meringis, bersusah payah bangkit dan kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, kami mengadu. Menceritakan kejadian memalukan apa yang baru saja terjadi.
“Oh, ini sih gara-gara kamu kepingin Es Nona tapi yang jual nggak lewat-lewat,” ujar mamaku saat itu. Aku pun menjadi percaya dengan yang namanya kepuhunan. Lalu, kalau sesuatu yang diinginkan itu benar-benar tidak bisa dipenuhi, apakah akan tetap terkena kepuhunan?
Para orang tua percaya, cara menangkal kepuhunan itu dengan cara menempelkan jari telunjuk di lidah lalu menempelkannya lagi di leher. Sebenarnya, jika dilogikakan, kejadianku itu memanglah murni kesalahanku yang tidak terlalu memerhatikan jalan saat mengendarai sepeda motor. Sama halnya dengan ditawari makanan atau minuman saat berkunjung ke rumah seseorang, minimal dicicipi sedikit agar tidak menyinggung hati si pemilik rumah.
Aku pernah mendengar kabar hampir sebagian besar orang Kalimantan sudah pernah mengalami kepuhunan. Mau tetap berpegang pada keyakinanku bahwa hal-hal seperti itu tidak ada, tapi aku malah jadi takut terkesan menantang, tidak kapok dengan yang pernah terjadi. Jadi, aku paksakan untuk percaya saja.
Kejadian lain menimpa pamanku. Saat itu ia berkunjung ke salah satu rumah kawannya. Oleh orang tua kawannya, ia diundang untuk bergabung makan malam bersama. Namun karena sudah terlalu malam, pamanku pamit tanpa sedikitpun mencicipi hidangan yang sudah tersedia. Aku tidak tau persis apa yang menimpa pamanku sepulangnya dari rumah kawannya. Hanya aku ingat, diberitahu oleh ibuku tentunya, pamanku terkena penyakit yang hanya bisa disembuhkan oleh orang-orang yang memiliki keahlian spiritual, atau disebut orang pintar. Sejak saat itu, pamanku tidak pernah lagi menolak tawaran makanan atau minuman saat bertamu ke rumah orang.
Berpindah ke Pulau Jawa demi memenuhi kebutuhan akademik, membuatku sadar bahwa di manapun daerah yang kupijak, tidak mungkin bersih dari kepercayaan-kepercayaan yang sudah ada sejak lama. Tidak sopan rasanya jika terang-terangan mengaku kalau kepercayaan-kepercayaan tersebut sebagian besar hanyalah takhayul, tapi aku coba untuk menghormati dan menghargainya, karena dimana bumi dipijak disitulah langit dijunjung. Lagipula, hal ini menjadi salah satu keunikan Indonesia yang memiliki beragam adat istiadat dan kepercayaan yang dijunjung oleh masyarakatnya.
***
Ditulis oleh Shinta Insania Kinasih, relawan Nyala Litera Indonesia.